MAKALAH
“Talak”













2014/ 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

A.Teks Hadist
Matan Abu Daud

حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ                           عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَأَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ.

Artinya: Kami (Abu Daud) mendapatkan cerita dari Kasir bin Ubaid; Kasir bin Ubaid diceritakan oleh Muhammad bin Khalid dari Muhammad bin Khalid dari Mu’arraf in Washil dari Muharib bin Ditsar; dari Ibnu Umar dari Nabi SAW yang bersabda:”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.”(HR Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadist ini shahih menurut al-Hakim. Abu Hatim menilainya hadist mursal)[1]

B. Mufrodat / Kata Kunci
(أَبْغَضُ            : Paling dibenci
(الْحَلاَلِ)              : Halal (perkara halal)
إِلَى)                : ke (oleh)
اللهِ )                : Allah
(تَعَالَى)               : Maha Luhur (Sifat Allah)
الطَّلاَقُ)            : Talak/Cerai
C. Talak/Perceraian
1.      Pengertian
Talak adalah suatu bentuk perceraian yang dinyatakan oleh suami secara lisan atau tulisan, dengan bunyi : “Aku talak engkau”/”Aku ceraikan engkau”, Juga bisa digunakan kata lain yang sama artinya, dimana maksut suami untuk menceraikan istrinya itu jelas.[2]
2.      Alasan Perceraian
a.       Merasa tidak senang dengan pasangan.
b.      Suami tidak mampu memberi nafkah istri dan keluarganya.
c.       Suami/Istri berhubungan dengan orang lain yang tidak sah.
d.      Istri yang dimadu dan tidak tahan.
e.       Suami ingin menikah lagi.
f.       Suami atau istri tidak mempunyai kemampuan jasmani untuk membina perkawinan yang bahagia.
g.      Ada pihak ketiga.
h.      Pertentangan keyakinan politik antara suami dan istri.[3]
3.      Syarat Jatuhnya Talak
a.       Talak orang yang dipaksa (jatuh talak).
b.      Talak orang mabuk (jatuh talak, kecuali mabuk karena obat”an).
c.       Talak orang marah (jatuh talak, kecuali marah yang sangat).
d.      Talak orang sendau gurau (jatuh talak).
e.       Talak orang tersalah/lupa (menurut Hanafi : Jatuh, Hadist nabi : Tidak jatuh).
f.       Talak orang gila, anak-anak dan orang tidur(tidak jatuh).[4]
4.      Cara menjatuhkan talak
a.       Lisan
Talak dengan ucapan dimana kata-kata yang diucapkan itu bisa bersifat jelas atau sindiran
b.      Syari/Tulisan
Talak yang diucapkan dengan mempergunakan kata-kata
c.       Isyarat
Sah apabila dilakukan oleh orang bisu, karena tidak ada cara lain kecuali isyarat.
d.      Mengirim Utusan
Talak suami melalui utusan yang diutus karena istrinya yang jauh bahwa ia telah ditalaknya, karena utusan bertindak atas nama suaminya.[5]
5.      Hukum Talak
a.       Wajib
Perselisihan hebat antara suami istri karena juru damai bahwa talak adalah jalan untuk menghentikan permasalahan.
b.      Sunnah
Disebabkan karena buruknya akhlak istri dan tabiatnya dan tidak menjaga kehormatanya.
c.       Mubah
Ketika ada hajat karena kedua suami istri sepakat bercerai
d.      Makruh
Menjatuhkan talak dengan tidak ada sebab yang berhajat kepada cerai.
e.       Haram
Ketika istri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci yang telah dicampuri.



BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Syarah Hadits
Menurut al-Asqallani perceraian yang dibenci adalah perceraian yang terjadi karena tidak ada sebab yang jelas. [6]Menurut al-Khattabi, maksud dibencinya perceraian itu karena adanya sesuatu hal yang menyebabkan terjadi perceraian tersebut, seperti perlakuan yang buruk dan tidak adanya kecocokan. Jadi yang dibenci bukanlah perceraian itu sendiri, tapi hal lain yang menyebabkan terjadi perceraian. Allah sendiri membolehkan perceraian. Di samping itu, Nabi juga pernah menceraikan beberapa istri beliau, meski ada yang beliau rujuk kembali.
Paralel dengan perceraian, dalam syariat Islam juga terdapat sesuatu yang halal, tapi dibenci. Hal itu seperti seseorang melaksanakan shalat di rumah, padahal tidak ada alasan yang membuatnya tidak bisa shalat di masjid. Begitu pula seperti melaksanakan jual beli di saat berkumandang azan Jum’at. Di sisi lain, setan memang paling menyukai terjadinya perceraian antara suami istri padahal perceraian merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah.[7]
Menurut Imam Nawawi, perceraian ada empat macam, yaitu wajib, haram, makruh, dan mandub (sunah).[8]
Wajib jika pejabat berwenang telah mengutus dua orang juru damai (hakam) untuk mendamaikan, tapi setelah diupayakan ternyata menurut mereka berdua yang terbaik (maslahat) adalah bercerai, maka perceraian adalah wajib.
Makruh jika tidak terjadi masalah dalam rumah tangga, tapi salah satu suami atau istri menuntut cerai tanpa ada sebab yang jelas. Inilah yang dimaksud dengan hadis di atas.
Haram jika (1) istri dalam keadaan haid sedangkan ia tidak menuntut cerai dengan ganti rugi dan tidak ada permintaan untuk diceraikan; (2) istri dalam keadaan suci dan sudah “digauli” oleh suami namun belum jelas apakah istri hamil atau tidak; (3) jika suami memiliki beberapa orang istri yang telah diatur giliran masing-masing; lantas suami menceraikan salah satu istrinya sebelum ia menunaikan giliran untuk istri tersebut.
Mandub jika sang istri tidak bisa menjaga kehormatan dirinya atau salah satu atau dua-duanya merasa tidak bisa menjalankan kewajiban yang telah diatur oleh syara’.
Dalam Umdah al-Qari, diungkapkan perceraian ada dua macam, yaitu sunnidan bid’i. Perceraian sunni adalah perceraian yang terjadi di saat istri dalam keadaan suci dan selama dalam keadaan suci tersebut, istri tidak pernah disetubuhi oleh suami; serta perceraian itu disaksikan oleh dua orang saksi. Perceraian bid’i adalah perceraian yang terjadi di saat istri dalam keadaan haid; atau dalam keadaan suci tapi sudah pernah disetubuhi; atau tidak disaksikan oleh dua orang saksi.[9]

B.     Asbabul Wurud
Menurut riwayat yang paling valid, hadis ini berkaitan dengan peristiwa Abdullah bin Umar yang menikahi seorang perempuan yang ia cintai. Namun, sang ayah, Umar bin Khattab tidak menyukai anaknya itu menikahi sang perempuan. Abdullah pun mengadukan hal tersebut kepada Nabi SAW. Nabi SAW lantas mendoakan Abdullah, kemudian bersabda, “Ya, Abdullah, ceraikan istrimu itu!” Akhirnya, Abdullah pun menceraikan sang istri.[10]

C.    Relevansi Hadits dalam Konteks Kontemporer
Seperti realita saat ini masalah perceraian sudah menjadi hal yang biasa, khususnya dikalangan artis dan masyarakat pada umumnya. Kebanyakan kasus perceraian yang terjadi disebabkan karena adanya pihak ketiga.Seperti kasusnya Farhat Abas dan Nia Daniati yang disebabkan pihak ketiga yaitu Regina yang merupakan selingkuhan Farhat Abas dan menjadi sumber perceraian dari rumah tangga Farhat Abas. Dari kasus tersebut kita dapat mengetahui kaitanya antara hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud diatas dengan realita kehidupan zaman sekarang bahwasanya ketika ada permasalahan dalam rumah tangga yang  tidak menemukan jalan keluar selain perceraian, maka perceraian itu diperbolehkan, meskipun itu suatu perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT.
BAB 3
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa pandangan islam tentang masalah perceraian itu diperbolehkan, dengan tujuan untuk kebaikan pasangan suami istri yang dalam rumah tangganya mendapatkan permasalahan, walau perceraian dianggap tidak terpuji dan dibenci oleh Allah SWT.
B.     Kritik dan Saran
Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kepada pembaca kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan makalah selanjutnya.




Daftar Pustaka

 

 

Abadi ,Muhammad Shamsul Haqq al 'Azim dan Ibn-Qayyim-al-Jawziyyah,  2009, “  Awn Al-Ma'bud  ‘Sharh Sunan Abi Dawud ‘” , Tahqiq Abdullah Mahmud Muhammad Umar,  Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah, juz 6.

 

Asqalani ,Ahmad Ibn Ali Ibn Hajjar al, 2004,Fath Al-Baary ‘Sharh Sahih Al Imam Abi Abdullah Muhammad Ibn Isma'il Al Bukhari’” ,Tahqiq Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn-Baz; Muhammad Fuad Abdul-Baq, Kairo : Dar al Hadith ,juz 10.

Asqalani, Ibnu Hajar Al-, 2013, ” Bulughul Maram min adillatil ahkam”, terj. Khalifaturrahman dan Haer Haerudin, Bulughul maram dan dalil-dalil hukum, Jakarta :Gema Insani.
'Ayni , Badr al- , 2004,  Umdat Al Qary ‘Sharh Sahih Al Bukhari ‘“, Beirut: Dar al Fikr, juz 20.
Latif, H.M. Jamil,1985, “Aneka Hukum Perceraian di Indonesia”, Jakarta:Ghalia Indonesia.
Nakamura, Hisako, 1991,  “Javanese divorce “, terj. H. Zaini Ahmad Noeh,’ Perceraian Orang Jawa’, Yogyakarta :Gajah Mada Univ. Press.

Nawawiy , Syeikh Imam Muhyiddin al , 2007, “Sahih Muslim Bi Sharh Al Imam Muhyiddin Al Nawawiy”, Tahqiq Shaykh Khalil Ma'mun Shiha. Beirut: Dar al Ma'rifah, , juz 10.






[1] Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, terj.Khalifaturrahman & Haer Haeruddin, Jakarta : Gema Insani, 2013. Hlm.470
[2]Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, terj. H. Zaini Ahmad Noeh, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1991. Hlm . 34
[3]Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, terj. H. Zaini Ahmad Noeh, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1991.Hlm.72
[4]Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta Timur : Ghalia Indonesia, 1985. Hlm.44.
[5]Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta Timur : Ghalia Indonesia, 1985. Hlm.48
[6]Ahmad Ibn Ali Ibn-Hajjar-al-Asqalani, Fath Al-Baary ‘Sharh Sahih Al Imam Abi Abdullah Muhammad Ibn Isma'il Al Bukhari’ ,Tahqiq Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn-Baz; Muhammad Fuad Abdul-Baq. Kairo : Dar al Hadith , 2004,  juz 10,Hlm. 447

[7]Muhammad Shamsul Haqq al 'Azim Abadi dan Ibn-Qayyim-al-Jawziyyah, Awn Al Ma'bud Sharh Sunan Abi Dawud  , Tahqiq Abdullah Mahmud Muhammad Umar, Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah, 2009 juz 6, Hlm. 226..

[8]Shaykh Imam Muhyiddin al Nawawiy, Sahih Muslim Bi Sharh Al Imam Muhyiddin Al Nawawiy, Tahqiq Shaykh Khalil Ma'mun Shiha. Beirut: Dar al Ma'rifah, 2007 juz 10, Hlm. 52.

[9]Badr al 'Ayni, Umdat Al Qary Sharh Sahih Al Bukhari , Beirut: Dar al Fikr, 2004,  juz 20, Hlm. 225.

[10]Ahmad Ibn Ali Ibn-Hajjar-al-Asqalani, Fath Al-Baary ‘Sharh Sahih Al Imam Abi Abdullah Muhammad Ibn Isma'il Al Bukhari’ ,Tahqiq Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn-Baz; Muhammad Fuad Abdul-Baq. Kairo : Dar al Hadith , 2004,   juz 10, hal. 447 dan Muhammad Shamsul Haqq al 'Azim Abadi dan Ibn-Qayyim-al-Jawziyyah, Awn Al Ma'bud Sharh Sunan Abi Dawud  , Tahqiq Abdullah Mahmud Muhammad Umar, Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah, 2009 juz 6,Hlm. 226.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer