KONSEP MAKRIFAT DALAM TASAWUH
DAN KONSEP “SANGKAN PARANING DUMADI”


YOGYAKARTA
2013
A. Pendahuluan
Dalam rentang sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi.
Sebelum al-Gazali sampai pada kesimpulan bahwa tasawuflah yang dapat membawa kepada pengetahuan yang hakiki, yang membawanya menjadi seorang sufi, ia telah meneliti dengan seksama pengetahuan yang ia miliki dan segala macam pendapat, paham atau ajaran yang berkembang di zamannya, serta mengevaluasi diri, yakni amal atau profesi yang selama ini ia kerjakan dan tekuni. Apa yang dikerjakan oleh al-Gazali ini menggambarkan proses perkembangan intelektual, emosional dan spiritual dalam sejarah kehidupannya untuk menemukan pengetahuan yang benar dan meyakinkan.
Di sisi lain dalam hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen yang berbunyi “Sangkan Paraning Dumadi”. Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahuikemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.
Manusia sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Ketika mudik, kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantiny
a.
Dan pada kesempatan kali ini akan mengupas tentang tasawuh khususnya dalam makrifat dan konsep “Sangkan Paraning Dumadi.

B. Pembahasan
A.      Pengertian dan Tanda Ma’rifat
Dari segi bahasa, Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui atau pengalaman[1]Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.         Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama’ Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ قَلْبِ بِوُجُوْدِالْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتّصِفاً بِساَئِرِالْكَلِماَتِ
Artinya:
Ma’rifah adalah  ketepatan  hati (dalam memercayai hadirnya)wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.”
b.        Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya:
Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
c.    Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:

اْلْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السّكِينَةَ فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ، فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).[2]

Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.    Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.    Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c.    Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehiduoan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
a.       Imam Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandanginya, pasti ia melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tidak lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT., saja.
b.    Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan sifat air gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
c.       Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan Tuhannya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat, Hakikat, dan Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.

B.       Hakikat Ma’rifat
Ada segolongan orang Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
1.       Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanya tertutup, dan waktu inilah yang dilihat hanya Allah.
2.       Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang yang arif melihat ke arah cermin maka apa yang dilihatnya hanya Allah.
3.       Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang dilihat hanyalah Allah SWT.
4.       Seandainya ma’rifah itu materi, maka semua orang yang melihat akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[3]
Menurut “Zunnun Al-Misrilah” (Bapak paham Ma’rifah) bahwa pengetahuan tentang Tuhan ada tiga macam[4]:
1.       Pengetahuan Awam
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
2.      Pengetahuan Ulama
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
3.    Pengetahuan Sufi
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
Bahwa pengetahuan Awam dan Ulama di atas belum dapat memberikan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehinggga kedua pengetahuan tersebut baru disebut “Ilmu” belum dapat dikatakan sebagai “Ma’rifah”. Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifah adalh pengetahuan Sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifah). Sehingga ma’rifah hanya dapat diperoleh pada kaum Sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan dengan cara melalui hati sanubarinya. Disamping itu juga mereka mereka didalam hatinya penuh dengan cahaya.
Untuk  memperoleh “Ma’rifah” tentang Tuhan, Zunun Al-Misrilah mengatakan:

عَرَفْتُ رَبّى وَلَوْلاَرَبّى لَماَ عَرَفْتُ رَبّىِ
Artinya:
Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekitarnya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”

Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifat itu ada tiga:
1.      Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2.      Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah hukum.
3.      Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.[5]

C.      Jalan Ma’rifat
Menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1)      Qalb اَلْقَلْبُ ) fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan.
2)      Ruh (اَلرُّحُ ) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3)      Sir اَلسِّرُّ ) fungsinya untuk melihat Tuhan.

Kedudukan Sir lebih halus dari Ruh dan Qalb. Dan ruh lebih halus qalb. Qalb di samping sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetapi Qalb dapat mengetahui Hakikat dari segala  yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Posisi Sir اَلسِّرُّ )bertempat di dalam Ruh. Dan ruh اَلرُّوْحُ )sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). Dan sebaliknya mereka yang melakukannya ( orang Sufi ) yang dilihat hanyalah Allah SWT.
Pada kedudukan diatas ia (orang Sufi) telah berada pada tingkat “Ma’rifah”. Sifat dari Ma’rifah Tuhan bagi seorang Sufi adalah kontinyu (terus menerus). Semakin banyak mendapat ma’rifah Tuhan, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga orang Sufi semakin dengan Tuhan. Namun untuk memperoleh ma’rifah yang penuh tentang Tuhan mustahil, sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak terbatas.
Disamping itu, proses sampainya qalb pada cahaya tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri sari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan Tahalli, yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan Tajalli adalah tersingkapnya hijab (penutup) sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.[6]

D.      Macam-macam Ma’rifat
Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifat Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifat Laduniah.
1.    Ma’rifat  Ta’limiyat
 Ma’rifat Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat yang di lontarkan oleh al-Ghazali25, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”.
Di sisi teori yang lain Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifat orang salik Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam -Allah Azza wa jalla-.Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna, sebagaimana yang dilontarkan oleh M. Ali Chasan Umar bahwa asma al-husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan yang Agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) Nama. Karena itu, adannya alam semesta menujukan adanya nama-nama Tuhan, nama-nama Tuhan itu menujukan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Tuhan itu ada hubungannya dengan Dzat-Nya, Ilmu-Nya, kekerasan. Keagungan-Nya dan tiada batasnya. Sifat-sifat tersebut itu selalu berdiri sendiri dan bergantung pada Dzat-Nya sebab tidak mungkin kalau ada sifat tetapi tidak ada yang disifati. Adapun yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla. Nama-nama itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya  :  “Serulah Allah atau Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang baik”. (Q.S. Al-Isra’: 110)
Ma’rifat ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses bagaimana cara mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya  salik (muta’alim) memerlukan metode untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara khusus misalnya menjadi murid untuk melakukan  proses perjalanan ruhani (suluk) dalam tarekat sufi secara metodik, maupun metode yang dilakukan secara umum atau tarekat yang secara langsung mengkaji dari sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in sampai ulama sekarang yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
Adapun Arifubillah Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat cara (suluk), ialah mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji/mahmudah (dengan taat lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan sekedar untuk maksud mendapat ni’mat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia Allah,  arau mendapatkan sorotan cahaya (nur), dan lain-lain, sehingga salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan untuk Allah semata. Dengan jalan suluk, maka semua pelajaran-pelajaran yang dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat, dengan karunia-Nya salik sendiri akan mengalami keyakian dekat dengan Tuhan. Firman Allah :
فَاْسلُكِى سُبُلَ َرّبِكَ ذُللاًّ
Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan bagimu. Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli Tasawuf/Tarekat merasa yakin akan sapai kepada Tuhan”.
Kearah menempuh tujuan itu, salik (muta’alim) menempuh bermacam-macam cara yang dapat membawa meraka yang pada akhirnya sampai pada hadirat Allah :al-Ghazali menyebutkan cara tersebut berupa Penycian jiwa (tazkiyat an-nafs) artinya sesorang harus melakukan penyucian jiwa  terlebih dahulu. Perolehan Ma’rifat  yang merupakan hasil dari kegiatan penyucian jiwa, harus terlebih dahulu dengan metode mujahadah dan riyadhah. Setelah mendaki stasiun demi stasiun menuju Tuhan, salik (pelaku tazkiyat an-nafs) hampir dapat dipastikan bahwa telah memperoleh jiwa yang bersih dari segala kejahatan dan dosa, yang diakibatkan dari akhlak-akhlak tercela. Jiwa seperti ini akan bercahaya dengan segala sifat yang terpuji sehingga dapat menangkap gambar suatu informasi atau pengetahuan yang tertera di lauh al-Mahfudh, yang langsung diberikan oleh Allah kepadanya dalam kondisi Ma’rifat
Adapun fase-fase yang harus ditempuh  kerah mencapai hakikat, salik (muta’alim) dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase :
Fase 1. Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan amal ibadat yang dipardukan dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan Rosulullah Saw.
Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati). Setelah hati dan ruhani telah bersir dan diisi dengan amalan batin (dzikir), maka pada fase ini salik didatangkan nur dari Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.
Fase 3. disebut murhalah riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong diri. Maksud dari dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin  untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci, Imam ghazali mengumpamakan seperti kaca cermin yang dapat menangkap sesuatu apapun yang bersifat suci, sehgingga salih dapat menerima informasi hakiki tentang Allah.
Fase 4. disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada martabat  menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil haqqi). Pada fase keempat ini, sebagai puncak segala perjalanan, maka didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”
2.      Ma’rifat Laduniyah
Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifat Laduniyah.
Lebih jauh, kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara  (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh ilmu pengetahuan –seperti talqin dari - sufi.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini dinyatakan oleh Abu Yazid al Bistami bahwa “Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-mahdjub) jika seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan kitab, karena seseorang yang memperoleh ilmunya dari hapalan, pasti akan mudah melupakan ilmunya. Dan apabila ia lupa, maka bodohlah ia ”Seorang yang ‘alim (ma’rifat laduniyah) adalah orang yang memeproleh ilmunya langsung dari Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hapalan dan pelajaran. Orang seperti ini pula menurut Muhammad Nafis disebut sebagai ‘alim ar-Rabani -orang yang berpengetahuan ketuhanan-. Dengan demikian Ma’rifat laduniyah juga dapat disebut Ma’rifat orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
اتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف : 65
Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).
Ma’rifat laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali disebut dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan duplikatnya. Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide itu lebih murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun kedunya persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau fotokopinya. Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak dengan susah payah. Oleh karena itu, para sufi tidak tertelan belajar melalui pengkajian buku-buku atau penelitian secara radikal terhadap kenyataan alamiyah seperti halnya ilmuwan. Para sufi menginginkan jalan pintas untuk memperoleh sumber asli dari segala ilmu  yang tersurat di lauh mahfudz. Penghayatan Kasf dan Zauq itu berada dalam kondisi Ma’rifat, karena Ma’rifat memiliki hubungan yang erat dengan musyahadah dan mukasyafah. Ma’rifat itu sendiri merupakan ajaran Tasawuf, yang pada garis besarnya merupakan ajaran kesucian jiwa, yaitu semata-mata untuk memasuki  hadharah al-qudsiyah (hadirat kesucian) atau hadharah Rububiyah (hadirat ketuhanan), akan tetapi dalam hal ini, Ma’rifat lebih signifikan karena keberadaan musyahadah dan mukasyafah bergantung pada Ma’rifat dan dengan Ma’rifat pula, ilmu laduni ikut menyertainya.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :
اَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Maksud perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan menampakan keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu Allah menunutut persaksian kepadamu mengenai  kebesaran dan keluhuran-Nya dengan melakukan dzikir dan Ibadah.  Ibadah yang dilakukan dengan anggota lahir sebagai persaksian mengenai keagungan  dan keluhuran-Nya, dan dzikir yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke-Esaan-Nya”.[7]

E.     Manfaat Ma’rifat
Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal Allah. Jadi percuma saja sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak menjadikan kita makin mengenal Allah.
Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
Pertama, Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
Kedua, memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.
Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
Keenam, selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat.
Kemampuan Manusia untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5). Ruh sebagai power untuk menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima ilmu pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa mempertimbangkan hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti panca indra yang hanya dapat merealisasikan secara indrawi tanpa mempertimbangkan pernghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia hanya Hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang menggerakkan.[8]

F.       Tokoh Ma’rifat
Dalam litelatur tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat, yaitu al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.[9]
Al-Gazali mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi persoalannya ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada khayalak ramai.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup pertualangan yang berjalan 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Terhadap hal ini, Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak dan cinta keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena mengutamakan hidup berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa mengingat Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga dan desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan pikiran berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak membersihkan suasana hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala arah yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang kembali”.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah panggialan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk, putera dari Nizamul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segara pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang di tanggalkannya.
Pada 499 H = 1105 M, Al-gazali pulang kembali ke Niesabur dengan hati yang penuh bangga sebagai seorang pahlawan yang gagah yang pulang dangan kemenangan dari suatu pertempuran terhadap kepulangannya ini, dikatakan oleh H.K. Sherwani: “Malik Shah was Succeeded by his youngest son, mahmud, was in turn succeeded by his eldest by brother barqijaruq, while another of Malik Shahs son, Sanjar, gevernor of Khorrasan, made Nizamul Mulk’s son Fakru’l Mulk his shief minister, and he, true to tradition of his illustriousmelalui jalan yang aneh-aneh. Dikatakan bahwa waktu Rabiah menghadapi maut, ia minta teman-temannya meninggalkannya, dan ia menyilakan pada para utusan Tuhan lewat. Waktu teman-teman itu berjalan keluar, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadah, dan ada suara yang menjawab, “Sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya, ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya”.
Diantara doa-doa yang tercatat berasal dari Rabiah ada doa yang dipanjatkannya pada waktu larut malam, diatas atap rumahnya. “Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”
Doa lain : “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka bakarlah diriku di dalamnya. Bila aku menyembahmu-Mu karena harap akan surga jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau maka janganlah Kau tutup Keindahan Abadi-Mu.[10]
Adapun Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun 246H/865M.[11] Menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan takut terpalingkan dari jalan yang benar.[12] Dalam sebuah hikayat, Dzunnun terkenal sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta mustajab do’anya. Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun muncul ketika terjadi sebuah peristiwa yang menunjukkan karomah yang dimilikinya. Pada saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu berharga yang mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan, Dzunnun berdoa dan memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya do’anya dikabulkan melalui ribuan ikan yang membawa batu berharga di mulutnya dan mendekati kapal kemudian menyerahkan kepada saudagar yang menuduhnya mencuri.
Dalam sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu tinggi. Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik manusia biasa. Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama adalah tingkatan yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan ini mengakui adanya Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya. Kedua tingkatan Teolog atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan berdasarkan pertimbangan empiris dan penciptaan, dan belum menyaksikan langsung dalam penyingkapan bathin. Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang paling tinggi didalam kema’rifatan, yaitu mengetahui keberadaan, sifat dan perilaku Tuhan melalui sanubarinya. Menurut Dzunnun, kema’rifatan dapat dilihat dengan mengetahui cirri-cirinya yaitu selalu bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa bersyukur.
Dalam tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau rasa takut kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai dari segalanya. Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk dicintainya bahkan masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun dari pada berpisah dari sang khaliq. Dalam berbagai pandang yang disampaikan, Dzunnun ternyata banyak membawa dampak dan inspirasi bagi ulama’ sesudahnya.[13]

1.      Pengertian Akhlak Dan Tasawuf
a)      Pengertian akhlak
Secara bahasa akhlak berasal dari kata اخلق – يخلق - اخلاق artinya kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata khuluq.[14]
Menurut Ibnu Maskawaih akhlak adalah:
حَالٌ لِلنَّاسِ دَاعِيَةٌ لَهَا اِلَى اَنْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وُرُوِيَّةٍ
Artinya:  Keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dahulu).
Menurut imam Ghazali akhlak adalah:
اَلْخُلْقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةِ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ اْلاَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وُرُوِيَّةٍ
Artinya:  Suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu).[15]
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan-angankan lagi.[16]

b)      Pengertian tasawuf
Secara bahasa Tasawuf berasal dari kata = saf (baris), sufi (suci), sophos (Yunani, hikmah),suf (kain wol) atau sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan bersikap bijaksana.[17]
      Menurut Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy mengatakan:[18]
التَّسَوُّفُ هُوَ عِلْمٌ يَعْرَفُ بِهِ اَحْوَالَ النَّفْسِ مَحْمُوْدُهَا وَمَذْْمُوْمُهَا وَكَيْفِيَةُ تَطْهِيْرِهَا مِنْ الْمَذْمُوْمِ مِنْهَا وَتَحْلِيَتُهَا بِاْلاِتْصَافِ بِمَحْمُوْدِهَا وَكَيْفِيَةُ السُّلُوْكِ وَالسَّيِرِ اِلَى الله تَعَالَى وَالْنِرَارُ اِلَيْهِ
Artinya: Tashawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkan diri yang buruk dan mengisinya dengan yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya).
      Menurut As-Suhrawardy mengemukakah pendapat Ma’ruf Al-Karakhy, Tasawuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan sesuatu yang ada di tangan makhluk (kesenangan duniawi).[19]
      Jadi dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan menyucikan jiwanya, dengan melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan tercela.
2.      Pengertian Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan dan pengalaman.[20] Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. [21]Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.[22]
Selanjutnya ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dala\m tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu dekian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.[23]  Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa  ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.[24]
Selanjutnya dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah sebagai dikatakan Harun Nasution, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan:
1) kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2) Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang arif melihat cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3) Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya….dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[25]
Dari beberapa defenisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifah adalah mengetashui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
C. Arti dan Hakikat Makrifat
Makrifat, menurut al-Gazali berarti ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut: 

ان علم اليقين هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك 
 “Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”. Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات
 “Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--.
Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada.
Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى(memandang kepada wajah Allah ta’ala).
3.      Pengertian Sangkan Paraning Dumadi
“Kenapa Tuhan menunjukkan masa lalu kepada kita melalui bintang-bintang-Nya di angkasa?” Pertanyaan tsb bukanlah pertanyaan yang muncul dari dalam diri penulis.
Pertanyaan tersebut membuat “terpesona” , karena selama ini sepertinya penulis hanya terpaku pada pijar cahaya bintang di tengah pekatnya malam, tanpa pernah melintas dalam benak penulis asal waktu cahaya bintang itu. Ya … cahaya bintang yang kita lihat pada suatu waktu bukanlah cahaya yang dipancarkan sang bintang pada saat kita memandangnya.
Kalau dalam istilah penyiaran mungkin bisa kita katakan kalau cahaya bintang tersebut hanyalah merupakan “siaran tunda”. Lalu seberapa lama selang waktu antara “penyiaran” dan “penerimaan” cahaya bintang tersebutAlpha Centauri, gugus bintang yang memiliki jarak 4,4 tahun cahaya dengan sistem tata surya kita merupakan gugus bintang yang paling dekat dengan bumi. Jadi cahaya yang dipancarkan oleh Alpha Centauri akan kita lihat dari bumi kita ini sekitar 4,4 tahun kemudian.
Mari kembali ke pertanyaan tadi, “Kenapa Tuhan menunjukkan masa lalu kepada kita melalui bintang-bintang-Nya di angkasa?”
Saat ini penulisingin menjawab pertanyaan tersebut untuk diri kami sendiri dan apa yang akan kami tuliskan di sini semata-mata pendapat penulis pribadi yang tentu saja sangat bersifat subyektif dan cacat logika 
Dari, oleh dan untuk penulis pribadi, penulis anggap kalau penampakan bintang di langit (beserta segala keterlambatan pancaran cahayanya) merupakan “jalan menuju Tuhan”. Tentu saja langit yang begitu luas beserta segala bintang di dalamnya menunjukkan ke-Maha-an Tuhan sebagai Sang Pencipta, tetapi bukan sekadar ke-Maha Pencipta-an Tuhan yang saya maksud saat ini. Kalau “hanya” sekedar merenungi Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta maka kita tidak usah repot-repot melihat bintang di langit, tetapi cukup dengan melihat jari tangan kita saja maka kita akan tahu betapa hebatnya Tuhan sebagai pencipta.
Yang penulis maksud dengan “jalan menuju Tuhan” disini merujuk pada dua posisi Tuhan, yaitu Tuhan sebagai asal, Sang Pencipta, dan sekaligus sebagai tujuan, Sang Pemilik. Jadi, penampakan bintang di langit akan bisa mengajak kita untuk melihat ke “belakang” menuju (titik) “awal” kita dan juga sekaligus melihat ke “depan” menuju “pintu tujuan” kita … dan itulah yang kami maksud dengan“sangkan paraning dumadi”. Apa itu “sangkan paraning dumadi”?
sangkan paraning dumadi
 “Sangkan paraning dumadi” secara simpelnya adalah “(tempat) berasal dan kembalinya segala makhluk” alias “the origin and the destination of all creatures“. Ya…“sangkan paraning dumadi” merupakan rangkaian kata yang digunakan oleh sesepuh Jawa untuk merujuk pada sosok Tuhan sebagai pencipta ( asal) dan pemilik ( tujuan) segala makhluk-Nya.
Maaf…dengan segala keterbatasan dan kelancangan penulis, penulis menganggap kalau “sangkan paraning dumadi” tersebut sebenarnya memiliki konsep dan makna yang sama dengan “innalillahi wa inna ilaihi roji’un” dalam agama Islam. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un” (juga) berarti sesungguhnya segala makhluk itu milik Allah dan akan kembali kepada Allah.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para leluhur yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan.
“Kawruhana sejatining urip
Urip ana jroning alam donya
Bebasane mampir ngombe
Umpama manuk mabur
Lunga saka kurungan neki
Pundi pencokan benjang
Awja kongsi kaleru
Umpama lunga sesanja
Najan-sinanjan ora wurung bakal mulih
Mulih mula mulane”
Ketahuilah sejatinya hidup,
Hidup di dalam alam dunia,
Ibarat perumpamaan mampir minum,
Seumpama burung terbang,
Pergi dari kurungannya,
Dimana hinggapnya besok,
Jangan sampai keliru,
Umpama orang pergi bertandang,
Saling bertandang, yang pasti bakal pulang,
Pulang ke asal mulanya,

Kemanakah kita bakal ‘pulang’?
Kemanakah setelah kita ‘mampir ngombe’ di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari ‘kurungan’ (badan jasmani) dunia ini?
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini?
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.
Yang jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah tempat yang langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita menyimak tembang dari Syech Siti Jenar yang digubah oleh Raden Panji Natara dan digubah lagi oleh Bratakesawa yang bunyinya seperti ini:
“Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip, akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya.” 
(“Terbalik pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang hidup, akherat itu alamnya orang mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan dunia, dan tidak mau meninggalkan alam dunia”)
Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech Siti Jenar adalah: Kalau dunia ini bukan alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?
Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya:
“Sanyatane, donya iki ngalame wong mati, iya ing kene iki anane swarga lan naraka, tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal donya iki, kita bali urip langgeng, ora ana bedane antarane ratu karo kere, wali karo bajingan.”
 (Kenyataannya, dunia ini alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya surga dan neraka, artinya senang dan susah. Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya antara yang berpangkat ratu dan orang miskin, wali ataupun bajingan”)
Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng.
Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
“Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati”
(hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian).
Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?
Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
“Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip.”
(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna, jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).
Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan alam dunia ini menuju ke kematian yang sempurna pula.[26]

















C. Kesimpulan
Makrifat menurut al-Gazali, berarti ilmu yang tidak menerima keraguan. Sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan disebut pula oleh al-Gazali dengan ilmu yang meyakinkan, yaitu ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah atau keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu. Jadi, ia tidak hanya terhindar dari segala keraguan, tetapi juga terbebas dari segala kesalahan dan kekeliruan. Inilah, menurutnya, pengetahuan yang benar yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin)
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan n­ur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio). Karena itu, teori pengetahuan menurut al-Gazali disebut dengan kasyf yang menghasilkan ilmu mukasyafah sebagai kebalikan dari ilmu mu’amalah atau ilmu muktasabah.
Kemudian konsep “Sangkan Paraning Dumadi” di konsepkan seperti kata “Inna lillahi Wa Inna Lillahi Raaji’un” kita dari Allah dan akan kembali kepada-Nya





Daftar Pustaka
Sumatera Utara, IAIN, 1983/1984, Pengantar Ilmu Tasawuf, Sumatera Utara: IAIN Sumatera Utara
Saliba ,Jamil, 1979, Mu’jam al-Falsafi, Jilid II, Beirut: Dar al-Kitab.
Al-Kalabazi, al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawuf, Mesir: Dar al- Qahirah.
Nasution ,Harun, 1983,”falsafah dan Mistisisme dalam islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Mustofa, A. ,1997,” Akhlak Tasawuf; Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK”, Bandung: Pustaka setia

Zaairul Haq,Muhammad,2009,Tasawuf Semar Hingga Bagong ;Simbol, makna, ajaran makrifat dalam punakawan”, Yogyakarta:Kreasi Wacana.




[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[14] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka setia,1997), hal. 12
[15] Mustofa, Akhlak Tasawuf,ibid
[16]Mustofa, Akhlak Tasawuf, Ibid., hlm.15
[17] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1985), hal. 56-57
[18] Mustofa, Akhlak Tasawuf, Ibid.,hlm.202
[19] Mustofa, Akhlak Tasawuf ,Ibid., hlm. 204
[20] IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984), hlm. 122
[21] Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979), hlm 72.
[22] Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi ,Ibid., hlm. 72.

[23] al-Kalabazi, al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawuf, (Mesir: Dar al-Qahirah, t.t.), hlm. 158-159.
[24] Harun Nasution, falsafah dan Mistisisme dalam islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet III, hlm. 75.
[25]Harun Nasution, falsafah dan Mistisisme dalam islam, Ibid., hlm. 75-76
[26] M. Zaairul Haq, Tasawuf Semar Hingga Bagong ;Simbol,makna, ajaran makrifat dalam punakawan, cet.pertama (Yogyakarta:Kreasi Wacana,2009),hlm.171-176.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer