MAKALAH PANDANGAN IMAM AL GHOZALI TENTANG PENYIMPANGAN DALAM AKHLAK DAN TASAWUF BESERTA PENYELARASANNYA
- ..
MAKALAH AKHLAK
DAN TASAWUF
PANDANGAN IMAM AL GHOZALI
TENTANG PENYIMPANGAN DALAM AKHLAK DAN TASAWUF BESERTA
PENYELARASANNYA
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT.
yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah Pancasila. Karena dengan perkenanNyalah batas waktu yang
disediakan tidak terlampaui, hingga sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam pelaksanaannya penulis tidak terlepas dari berbagai pihak
yang telah memberikan bantuan dan kemudahan baik berupa saran maupun bentuk
bantuan yang lain. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima
kasih yang teramat dalam kepada :
a. Dosen pembimbing
b. Teman-teman,
c. Para pihak yang
telah membantu pembuatan makalah ini,dll.
Semoga Allah SWT. berkenan membalas segala kebaikannya.Penulis
harap Makalah ini dapat berguna kelak di kemudian hari. Di dalam naskah ini
banyak sekali pembahasan tentang “Akhlah dan Tasawuf”, namun penulis sadar
bahwa makalah ini sangat banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, kritik dan saran
dari dosen pembimbing dan teman-teman sangat penulis harapkan. Jika ada sesuatu
yang kurang berkenan penulis mohon maaf.
Demikian sepatah dua patah dari penulis. Atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Yogyakarta,
November 2013
Hormat Kami:
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu
menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan
mengalami banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur
untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya
tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku
nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut
sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan
sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.
Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal
dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah
tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din (The
Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai
jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash
pada zaman itu.
Akhlak pada Imam Ghazali mempunyai pengertian tersendiri dan
mempunyai batas pengertiannya sendiri. Pengertian akhlak baginya mengenai
cara-cara suluk, mengenai jalan mendekatkannya kepada Allah sesuai dengan apa
yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan ahli-ahli feqah. Oleh sebab itu,
beliau menggunakan banyak nama untuk akhlak itu. Kadang-kadang beliau
menambahnya jalan ke akhirat, sesekali menamakannya sifat-sifat hati, pada
suatu tempat lain beliau menggunakan kata rahsia amal ibadat agama, bahkan
pernah menggunakan sebutan budi pekerti yang baik di mana ia dijadikan nama
bagi sebuah karya karangannya iaitu Akhlak al-Abrar. Sebuah karangannya yang
terpenting dan masyhur diberi nama Ihya’ Ulumuddin iaitu Pembangkit Ilmu-ilmu
Agama.
Sebagai dasar budi
pekerti manusia, Imam Ghazali memberikan tiga sebab asas iaitu tafakkur membawa
erti akal, syahwat membawa erti hawa nafsu dan ghadab yang membawa erti marah.
Memperbaiki budi pekerti bagi Imam Ghazali ialah menuju keseimbangan dalam
menggunkan ketiga sifat asas tadi dan menyalurkan kepada perilaku atau perangai
yang baik. Didakwa bahawa tidak kesemua kelakuan yang baik itu disukai oleh
manusia bahkan sebaliknya kerapkali manusia itu menggemari perbuatan yang buruk.
Dalam kitabnya
Ihya’ Ulumuddin dijelaskan secara lebih mendalam bahawa budi pekerti itu
merupakan suatu naluri asli dalam jiwa sesorang manusia yang dapat melahirkan
suatu tindakan dan kelakuan dengan senang dan mudah tanpa rekaan fikiran. Jika
naluri tersebut melahirkan sesuatu tindakan dan kelakuan yang baik lagi terpuji
menurut akal dan syariat maka ia dinamakan budi pekerti yang baik.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف
) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan
akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam
Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat
(pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang
Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[rujukan?]. Pemikiran Sufi
muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke
seluruh belahan dunia (Wikipedia bahasa Indonesia).
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi".
Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف),
bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para
asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol.
Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا),
yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian
hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani
theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari
"Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl
al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana adalah sekelompok
muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda
masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa (Wikipedia bahasa Indonesia).[2]
INTEKTUALISME AL-GHAZALI
Manusiasebagai makhluk multi dimensi, disamping memiliki daya
pengindra, dilengkapi pula kesadaran rasional dan intuisif. Dengan
potensi-potensi tersebut, manusia mempunyai kecenderungan untuk mengenal,
mengetahui bahkan menyingkap rahasia apa saja yang sempat teramati.
Intuisi sebagai
sumberpengetahuan memiliki potensi untuk melainkan pertimbangan-pertimbangan
tanpa menempu cara-cara berpikir diskursif atau atas dasar fakta, melainkan
suatu pengetahuan atau kebenaran yang timbul dari sumber yang belum dikenal
atau diselidiki secara umum. Meski demikian, secara factual banyak orang yang
kemudian mempunyai nilai kebenaran baik secara empirik maupun rasional.
Pada akhir abad X1
dan awal abad X11 masehi di dunia islam tampil seorang ilmuan besar, imam
al-ghazali (1058-1111 M) yang mendapat gelar hujjah al-islam. Dalam
mendiskrisipkan upaya manusia mencari kebenaran pada masa-ya, ia
mengelompokkanya menjadi empat golongan dengan pola epistemologinya
masing-masing.
1. Para teolok yang
menggunakan kekuatan akal yang dibantu oleh wahwu.
2. Para filosof yang
mengandalkan akal semata.
3. Para penganut
syi’ah bhatiniyah yang mengandalkan imam-imam mereka.
4. Para sufi yang
mengandalkan kekuatan intuisi (kasyaf).
Setelah meneliti dan mempelajari keempat pola dan jalan manusia
mencari pengetahuan dan kebenaran diatas, akhirnya al-ghazali memilih jalan
yang telah dilakukanoleh para sufi setelah sebelumnya ia mengalami konversi
batin yang diawali berbagai kondisi intuitif seperti keraguan, kegelisahan,
sedih, takut dan emosi-emosi batin lainnya. Bahkan al-ghazali menyakini dengan
sepenuhnya bahwa tasawuf merupakan jalan yang diridhahi allah, jalan hidup yang
paling utama dan paling meyakinkan karena selalu diterangi sinar cahaya
kenabian sehingga tidak ada yang dapat menandinginya.
Bagi al-ghazali,
hakikat tasawuf sebagai jalan maupun
metode mencari pengetahuan dan kebenaran akan tercapai dan terwujud dengan
sempurna hanya dengan melalui ilmu dan amal. Sedangkan keberhasilan pengetahuan
mereka adalah menghilangkan rintangan jiwa dan membersihkannya dari
mayoritas-mayoritasnya yang jelek dan sifat-sifatnya yang tidak baik sehinga jiwa
benar-benar akan sampai pada kondisi kosong dari selain allah. Percapaian
kondisi ini akan meniscayakan seorang sufi memperoleh pencerahan jiwa atau
batin dan pada gilirannya akan mampu menangkap pengetahuan dan kebenaran lewat
pengalaman intuitif.
Untuk menunjukkan
dimensi rasionalitas dalam konsepsi tasawuf-nya, al-ghazali antara lain
mengilustrasikan hubungan akal dan intuisi secara analog, bahwa orang yang
memperolrh pengetahuan dengan akal di umpamakan dengan anak kecil (al-thifl),
sementara itu orang yang memperoleh pengetahuan dengan intuisi di tamsilkan
dengan seorang remaja (al-mumayyiz). Lewat analog di atas tampaknya al-ghazali
ingin menegaskan bahwa jiwa rasional manusia setelah mampu menangkap
pengetahuan ampiori pada gilirannya akan memperlihatkan dua kemampuan :
pertama, kemampuan memprodukssi pengetahuan lewat pemahaman (olah) halar:
kedua, kemampuan memproduksi lewat pemahaman (olah) rasa atau intuisi. Model
pengetahuan pertama bersifat kreatif-metodis-sistematis,sedangkan model pengetahuan
kedua bersifat kreatif-non metodis- non sistematis. Dengan demikian pada
hakikatnya kedua pengetahuan tersebut berakar dari sumber yang sama sebagai
derivate jiwa rasional manusia (al-nafs al-nathiqah) dan oleh karena itu
keduanya tercangkup dalam rasionalitas manusia.
Secara
rinci,dimensi rasionalitas dalam konsep tasawuf al-ghazali dapat dilihat pada
hal-hal sebagai berikut:
1. Penggunaan logika
dan akal secara tepat dalam mengkontruksi pengalaman ke sufiannya, sehingga
bangunan konsepsi tasawufnya mengandung segi-segi pemikiran logis dan rasional.
2. Mengandung
analog-analog secara tepat dalam mengkomunikasikan pemikiran tasawufnya,
sehingga dapat dinalar (reasonable) misalnya term “al-mir’ah (cermin) sebagai
analog kalbu, yani suatu instrument batin yang dapat menangkap pengetahuan
intuitif dan sebagainya.
3. Sikap apresiatifnya
terhadap akal atau rasio sebagai mana tercemin dari konsepsi tasawufnya yang
tidak menolak akal sama sekali dan tetap mendudukannya sebagai karakter manusia
dan sarana untuk megetahui realitas serta penolakannya terhadap pengalaman
sufistik irrasional.
4. Pengakuannya
tentang adanya nisbah antara akal dan intuisi (kasyaf) dalam aktualisasinya.
Meskipun dia mengakui keunggulan intuisi sufi (kasyaf) dari akal karena kasyaf
dapat memberikan pengetahuan supra-rasional.namun disisi lain dia menegaskan
bahwa intuisi sufi mempunyai ruang lingkup terbatas, sebab harus tetap dalam
bingkai rasionalitas sehingga tidak dapat/boleh memberukan pengetahuan yang
dimustahilkan akal (irrasional).[3]
CORAK-CORAK PEMIKIRAN AL-GHAZALI TERHADAP AKHLAK TASAWUF
Pengalaman
intelektualisme dan spiritualnya berpindah-pindah dari ilmu kalam kefalsafah,
kemudian ke ta’limiah/batiniah dan akhirnya mendorong tasawuf. Dalam hal ini,
A.hanafi, MA.memberi komentar:
Oleh karena itu, pikiran-pikiran al-ghazali telah mengalami
perkembangan semasa hidupnya dan penuh kegoncanan batin sehingga sungkar
diketahui kejelasan corak pemikirannya seperti terlihat dari sikapnya terhadap
filosof dan terhadap aliran-aliran aqidah pada masanya.
Kontradiksi-kontradiksi
pikirannya memang banyak kita jumpai dalam berbagai kitab/tulisannya, karena di
pengaruhi oleh perkembangan pikirannya sejak mudah sekali. Di satu pihak ia
dikenal sebagai penulis buku polemis, “tahafut al-falasifah”menelanjangi
kepalsuan para filosof berikut doktrin-dokrin mereka. Tetapi pada saat yang
sama, ia juga menulis buku tentang ilmu logika aris toteles “al-matiq
al-aristhi “, lalu menulis kitab : “mi’yar al-ilmi” (mencakup filsafat), bahkan
ia membela ilmu-ilmu warisan ais toteles itu dan menjelaskan berbagai segi
kegunaannya.
Demikian pula
kontrakdisi pemikirannya yang berkaitan dengan ilmu kalam, seperti di jelaskan
Dr. Nurcolis madjid:
…dalam bukunya “iljima al-awwam”an ‘ilmal al-kalam” Nampak menentang
ilmu kalam. Tetapi bukunya yang lain “al-iqtishad fi al-I’tiqad”, al-ghazali
memberi tempat pada ilmu kalam asy’ariyah. Dan dalam karya utamanya yang
cermelang “ihya ‘ulum al-din”, al-ghazali dengan cerdas menyungguhkan
sinkretisme kreatif dalam islam sambil tetap berpegang pada ilmu kalam
al-asy’ari.”
Dengan demikian,
al-ghazali tidak memuji seluruhnya terhadap ilmu kalam, akan tetapi ada yang
diuji dan ada yang di caci. Misalnya, ilmu klam yang diajarkan kepada orang
awam, tidak akan tercapai maksudnya dan bahkan bias mengacaukan pikiran serta
dapat memalingkan dari aqidah yang benar.
Oleh karena itu,
Dr.sulaiman dunia menganalisanya, bahwa ada buku-buku yang ditunjukkan kepada
orang awam dan ada pula yang khusus di tunjukkan kepada orang tertentu/ khawas,
dan dan sudah barang tentu isinya tidak sama. Karena apa yang disampaikannya
kepada orang khawas (khusus), tidak selamanya dapat diberikan kepada orang
awam. Pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak
selamanya sama. Tetapi sering kali berbeda menurut daya piker masing-masing,
sehingga kaum khawas membaca yang tersirat. Hal ini selaras dengan Dr.harun
nasution, bahwa al-ghazali memang membagi umat manusia kedalam tiga golongan,
yaitu:
Pertama, kaum awam
yang cara berfikirnya sederhana sekali. kedua,kaum pilihan yang akalnya tajam
dan berfikir secara mendalam. Ketiga, kaum pendekar. Kaum awam dengan daya
akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka
mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapin dengan
member nasihat dan petunjuk. Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam
harus dihadapin dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmah, sedang kaum pendekar
dengan sikap mematahkan argument.
Disamping itu ,
kontradiksi pemikiran imam al-ghozali juga sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pikirannya, sebagaimana dikatakan Dr.zaki
mubarok:
Perbedaaan tersebut disebabkan karna perkembangan fikiran
al-ghazali, mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang
cermelang namanya, mengingat menjadi seorang guru, bahkan hingga guru yang
benar-benar kenamaan. Akhirnya menjadi kritikus kuat, menguasai dn menyingkap
bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membariin dunia
dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.”
Dengan demikian jelaslah bahwa karya-karyanya yang di tulis pada
masa muda-a ketika masih kuat pengaruh logikanya sangat berbeda dengan karyanya
yang ditulis pada akhir tulisannya karna sangat dalamnya pengaruh tasawuf.
Namun demikian, pemikirannya masi ditandai oleh pikiran yang jernih, wawasan
yang luas, analisis yang mendalam, penyelidikan yang teliti, kekuatan berfikir
yang sama sekali tidak terpengaruh hal-hal yang bersifat rendah. Juga kemampuan
menganalisis masalah, mana yang melampauin batas dan mana yang dapat
mengantarkan pada tujuan, sikap yang konsisten, berani dan pantang mundur dalam
menghadapi tantangan zaman serta mampu menjelaskan kebenaran dan memisahkannya
dari segala hal yang menodai sepanjang sejarah islam.[4]
POKOK-POKOK PEMIKIRAN TASAWUF AL-GHAZALI
Tasawuf
sebagai salah satu cabang dari bidang studi pemikiran islam sering diartikan
sebagai aspek ajaran islam yang memberika asentuasi pada kesucian rohani
manusia. Namun dilihat dari sudut kesejarahan pemikiran islam secara luas, maka
tasawuf sesungguhnya merupakan produk pemikira umat yang didasari oleh
kesadaran untuk mengadakan hubungan sedekat mungkin dan disadari dengan tuhan
untuk mencapai kepuasan spiritual yang merupakan kebahagiaan sejati.
Mengingat
demikian luasnya cakupan hal-ihwal tasawuf maka menurut Dr.ibrahim baisuni,
untuk dapat memahaminya secara komprehensip harus bertolak dari tiga elemen
dasariyahnya, yaitu: 1) al-bidayah 2) al-mujahaddah dan 3) al-majaqah.
Elemen
pertama sebagai unsur dasar dan pemula mengandung arti bahwa secara fitri
manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai
dirinya sendiri karena dibalik yang ada terdapat realitas mutlak. Olehkarna itu
manakala manusia dapat mengetahui hakikat dirinya, maka akan muncul kesadaran
manusia untuk mendekati ralitas mutlak tersebut atau allah. Element ini dapat
disebut sebagai tahap “kesadaran tasawuf atau misik”
Elemen
kedua sebagai undsur perjuangan keras atau berat mengandung arti, karena jarak
antara manusia dan realitas mutlak yang menguasai semua yang ada itu bukan
jarak fisik dan penuh rintangan atau hambatan maka diperlukan kesungguhan dan
perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara
menciptakan kondisi tertentu akan dapat mendekati realitas mutlak. Elemen ini
dapat disebut sebagai tahap “perjuangan tasawuf atau mistik”.
Elemen
ketiga mengandung rti manakala manusia atau sufi telah lulus dalam perjuangan
mengatasi hambatan dan rintangan dalam mendekati realitas mutlak, maka dia akan
dapat berada sedekat mungkin di hadiratnya dan berkomunikasi serta akan
merasakan kelezatan spiritual yang didambakan. tahap ini disebut tahap
“pengalaman tasawuf atau mistik”[5]
CONTOH KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP POLA AGAMA YANG KELIRU
Ada kelompok yangsangat memperhatikan
masalah-masalah yang sunah sifatnya dan kurang meng hargai ibadah-ibadah fardu.
Kami melihat mereka merasa lebih senang (nikmat) dengan melakukan shalat
dhuhah, shalat malam atau iadah-ibadah sunah lainnya, dan meraras tidak
mendapatkkan kelezatan itu disaat melakukan ibadah fardu, sehingga dia tidak
bersegerah melakukan ibadah fardu(pada awal waktunya) orang yang demikian,
berarti telah melupakan sabda rasullullah dalam hadist kutsinya:
“tidaklah
orang-orang yang mendekatkan diri kepada ku bias lebih dekat dari pada
oaring-orang yang segerah menunaikan apa yang aku fardukan kepada mereka”
Meninggalkan
tertib atau urutan dalam amaliah kebaikan atau yang ardu adalah termasuk
prilaku buruk. Sebab telah di tentukan bagi manusia 2 bentuk kewajiban yang
satu bias diperlambat yang lain tidak. Atau dua keutamaan yang satu bisa
dipersimpit waktunya dan yang lain bias diperluas. Barang siapa tidak bias
membedakan atau menjaga tertib dari ketentuan itu, tidak ragu lagi dia termasuk
orang yang bingung (tertipu).[6]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tasawuf sebagai salah satu cabang dari bidang studi pemikiran oslam
sering di artikan sebagai aspek ajaran islam yang memberikan aksentuasi pada
kesucian rohani manusia. Namun dilihat dari sudut kesejarahan pemikiran islam
secara luas, maka tasawuf sesungguhnya merupakan produk pemikiran umat yang di
dasari oleh kesadaran untuk mengadakan hubungan sedekat mungkin dan di sadari
dengan tuhan untuk mencapai kepuasan spiritual.
Pengalaman intelektualisme dan spiritualnya berpindah-pindah dari
ilmu kalam kefalsafah, kemudian ke ta’limiah/batiniah dan akhirnya mendorong
tasawuf. Dalam hal ini, A.hanafi, MA.memberi komentar:
Oleh karena itu, pikiran-pikiran al-ghazali telah mengalami
perkembangan semasa hidupnya dan penuh kegoncanan batin sehingga sungkar
diketahui kejelasan corak pemikirannya seperti terlihat dari sikapnya terhadap
filosof dan terhadap aliran-aliran aqidah pada masanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, terj.
Khairul Amru Harahap, Lc. Dan Afrizal Lubis, Lc. Qisthi Press, Jakarta, 2005.
HAMKA, 1978, Tasawuf:
Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan NurulIslam.
Harun Nasution, “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed.), Konstekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
Ihsan Ilahi Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf: Latar Belakang Kesesatan Kaum
Sufi, terj. Fadhli Bahri, Darul Falah, Jakarta, 2001.
Syukur, Amin,Intelektualisme Tasawuf,
LEMBKOTA,Semarang:2012.
Qardhawi,Yusuf, Al Ghozali Antara Pro
dan Kontra, PUSTAKA PROGRESIF, Surabaya:1997.
[2] ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap, Lc.
Dan Afrizal Lubis, Lc. Qisthi Press, Jakarta, 2005, hal 393.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer