HIBAH DALAM SUDUT PANDANG AL-QUR’AN, SUNNAH , IJMA’, DAN QIYAS


2013


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam senantisa tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang terlibat dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.
Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik. Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kami pada khususnya dan reka-rekan pada umumnya. Amin.

                                                                                    Oktober 2013

Penyusun
                                                                                                                                                                           






BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu dari anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama muslim ataupun non muslim.
Bentuk tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya.
Salah satu di antaranya adalah hibah, atau disebut juga pemberian cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan.
الهبة ( hibah) adalah dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti.
Dan pada kesepatan kali ini penulis ingin menyusuri lebih jauh akan hibah dari sebuah pedoman hidup utama kaum Muslimin di Indonesia, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah S.A.W, serta Ijma’ dan Qiyas

Kemudian, kita akan mulai dari apa sebenarnya hibah itu, dan apa saja yang perlu kita kita ketahui.








BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Hibah
1.      Etimologi
Kata hibah merupakan bentuk maşdar dari kata wahaba – yahabu – hibatan(هبة – يهب – وهب) yang digunakan dalam Al-Qur`an beserta kata derivatifya sebanyak 25 (dua puluh lima) kali dalam 13 surat.[1]Dalam kamus Al-Munawir, hibahdiartikan dengan “pemberian[2] Sementara Sayyid Sabiq berpandapat bahwa hibahdiambil dari kata hubūb al-rīḥ yang artinya hembusan angin.[3]
2.      Terminologi
Setelah membahas pengertian hibah dari segi kebahasaan, para ulama juga memberikan pengertian secara termonologi atau istilah. Diantara pendapat para ulama yaitu:
-          Muhammad al-Syarbini dalam kitab Al-Muġnī mendefinisikan hibah sebagai berikut:
العقد يفيد التمليك بلا عو ض حا ل الحيا ة تطو عا
“Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela”[4]
Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberuikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya.
وعن أ بي هريرة رضي الله عنه عن النبي صل الله عليه وسلم قال : (تها د و ا تحابوا)
 رواه اليخا ي في الأ د ب المفرد وا بويعلي بإ سنا د حسن
Artinya: Dari Abu Hurirah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Saling memberi hadiahlah kamu sekalian, agar kalian saling mencintai”. Riwayat Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad dan Abu Ya’la dengan sanad hasan.[5]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tnpa da kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).
Dalam istilah hukum perjanjian yang seperti ini dinamakan juga dengan perjanjian sepihak (perjanjian unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).

2.      Rukun Dan Syarat Sahnya Hibah

Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ  
177. bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. . (Al-Baqarah ayat 177)[6]



$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[[7]], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[[8]], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[[9]], dan binatang-binatang qalaa-id[[10]], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[[11]] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.





Rukun hibah adalah sebagai berikut :
1. Penghibah , yaitu orang yang memberi hibah
2. Penerima hibah yaitu orang yang menerima pemberian
3. Ijab dan kabul.
4. Benda yang dihibahkan.[12]
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :
3.      Syarat-syarat bagi penghibah
a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan
c. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
d. Penghibah tidak dipaksa untuk memnerikan hibah.
4.      Dasar Hukum Hibah
Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut :
"Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya".
5.      Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
6.      Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a. Benda tersebut benar-benar ada;
b. Benda tersebut mempunyai nilai;
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan;
d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.[13]
Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan.
Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu".
Sedangkan Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti oleh kabul, dengan pernyataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak.
Adapun menyangkut pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi hibah.
4. Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.
7.      Hibah Orang Sakit Dan Hibah Seluruh Harta
Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.
Sedangkan menyangkut penghibahan seluruh harta, sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq, bahwa menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.
Muhammad Ibnu Hasan (demikian juga sebagian pentahqiq mazhab Hanafi) berpendapat bahwa : Tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun di dalam kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang yang dungu dan orang yang dungu wajib dibatasi tindakannya.
8.      Penarikan Kembali Hibah
Penarikan kembali atas hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan meskipun hibah itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Adapun hibah yang boleh ditarik hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
Dasar hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi yang artinya berbunyi sebagai berikut :
"Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : "Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali.
9.      Hikmah dalam Amalan Hibah
Hibah disyari’atkan dalam Islam dengan galakan yang mendalam adalah untuk memaut hati kalangan masyarakat Islam itu sendiri sesama mereka dan memperdekatkan perasaan kejiwaan sesama manusia yang hidup dalam masyarakat Islam atau di luar masyarakat Islam. Keistimewaan hibah ini ialah ianya boleh dilakukan kepada orang yang bukan Islam sekali pun, bahkan kepada musuh-musuh yang membenci Islam apabila diketahui lembut hatinya apabila di’beri’kan sesuatu.
 Hibah ini merupakan salah satu aktiviti kemasyarakatan yang berkesan memupuk rasa hormat, kasih sayang, baik sangka, toleransi, ramah mesra dan kecaknaan dalam kehidupan sosial sesebuah negara. Secara ringkasnya, hikmah hibah ini boleh dirumuskan dalam perkara berikut (tanpa menghadkan kepada perkara di bawah) :


  1. melunakkan hati sesama manusia
  2. menghilangkan rasa segan dan malu sesama jiran, kawan, kenalan dan ahli masyarakat.
  3. menghilangkan rasa dengki dan dendam sesama anggota masyarakat.
  4. Menimbulkan rasa hormat, kasih sayang, mesra dan tolak ansur sesama ahli setempat.
  5. meningkatkan citarasa kecaknaan dan saling membantu dalam kehidupan.
  6. memudahkan aktiviti saling menasihati dan pesan-memesan dengan kebenaran dan kesabaran.
  7. menumbuhkan rasa penghargaan dan baik sangka sesama manusia
  8. mengelak perasaan khianat yang mungkin wujud sebelumnya.
  9. meningkatkan semangat bersatu padu dan bekerjasama.
  10. dapat membina jejambat perhubungan dengan pihak yang menerima hibah

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.         Hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tnpa da kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).
2.         Rukun hibah, yaitu : penghibah , penerima hibah, ijab dan kabul, dan benda yang dihibahkan.
3.         Syarat-syarat hibah itu meliputi syarat penghibah, penerima hibah dan benda yang dihibahkan.
4.         Penghibahan harta yang dilakukan oleh orang sakit hukumnya sama dengan wasiat. Menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.












DAFTAR PUSTAKA
Audah, Ali, 1991,” Konkordansi Al-Qur`ān (Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Al-Qur`ān)” ,Bogor, Pustaka Lintera Antara.
Al-Jaziri, Abdurrahman , 2007 ,”Fikih Empat Mazhab(terjemahan dari Kitab al-Fiqh ‘alā Madzāhib al-Arba’ah )”, Jakarta, Rajawali Press.
Rusyd, Ibn , 2004, “Bidāyat al-Mujtahid wa Niḥāyat al-Muqtasid Juz II” ,Semarang, Toha Putra).
Warson Al-Munawir, Ahmad, 1997 , “Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia” ,Yogyakarta, Pustaka Progresif.
As-Shiddieqy, Hasbi, 1990, “Koleksi Hadits-hadits Hukum”, Jakarta, Rajawali Press .
 Sabiq, Sayyid,2009, “Terjemah Fiqh al-Sunnah Juz V,Jakarta. Cakrawala Publishing.    

Shomad, Abdu, 2002, “ Hukum Islam – Panorama Prinsip Syariah dalam Huku di Indonesia”, Jakarta, Cakrawala Publishing.




[1] Ali Audah, Konkordansi Al-Qur`ān (Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Al-Qur`ān), (Bogor, Pustaka Lintera Antara, 1991), cet. I. 224 – 470. Diantaranya dalam QS. [3]: 8, QS. [19]: 5, QS. [26]: 83, dll. Selanjutnya disebut Ali Audah,Konkordansi Al-Qur`ān.

[2] Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Progresif, 1997), 1584. Selanjutnya disebut Al-Munawir,Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia.
[3] Sayyid Sabiq, Terjemah Fiqh al-Sunnah Juz V, (Jakarta. Cakrawala Publishing, 2009), 547. Selanjutnya disebut Sayyid Sabiq,  Fiqh al-Sunnah Juz V.
[4] Abdu Shomad, Hukum Islam – Panorama Prinsip Syariah dalam Huku di Indonesia, (Jakarta, Cakrawala Publishing, 2002). 242 Selanjutnya disebut Abdu Shomad, Hukum Islam.
[5] Hasbi as-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, (Jakarta, Rajawali Press, 1990), 186. Selanjutnya disebut Hasbi as-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum.
[6] Abdu Shomad, Hukum Islam – Panorama Prinsip Syariah dalam Huku di Indonesia, (Jakarta, Cakrawala Publishing, 2002). 242 Selanjutnya disebut Abdu Shomad, Hukum Islam.

[7] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[8] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.

[9] ] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[10] Ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
[11] Dimaksud dengan karunia Ialah: Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan dari Allah Ialah: pahala amalan haji.

[12]  Abdurrahman al-Jaziri, Fikih Empat Mazhab(terjemahan dari Kitab al-Fiqh ‘alā Madzāhib al-Arba’ah), (Jakarta, Rajawali Press, 2007). 453 . Selanjutnya disebut al-Jaziri, Fikih Empat Mazhab
[13] Ibn Rusyd, Bidāyat al-Mujtahid wa Niḥāyat al-Muqtasid Juz II,(Semarang, Toha Putra, 2004). 245. Selanjutnya disebut Ibn Rusyd, Bidāyat al-Mujtahid Juz II


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer