MAKALAH
“Hukum Waris Adat”


2014/ 2015



Bab I
Pendahuluan

Indonesia mremiliki banyak khasanah yang sangat luar biasa, mulai dari keberagaman suku bahasa, bahkan logat atau dialektika dalam berbicarapun banyak sekali perbedaan, namun sayang, seribu kali sayang, banyak sekali kebudayaan adat kita yang hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengamen di lampu merah, padahal itu adalah warisan leluhur yang semestinya kita lestarikan bersama.
Tidak perlu marah kalau negara tetangga mengkalim itu, bukan karena membela, namun pada dasarnya kita tahu bahwa ketika tidak dirawat, orang lain merawatnya bisa lestari dan dapat dimanfaatkan untuk menghibur.
Maka tidak salah kalau kesempatan kali ini pemakalah ingin mencoba menguak khasanah adat, terutama mengenai tentang hukum adat waris, yang berbeda dengan hukum Barat ataupun Hukum Islam sekalipun, mengapa demikian?, karena Hukum adat waris lebih mengutamakan kepada interaksi dal kehidupan bermasyarakat, dan kita akan bahas satu- persatu dalam materi yang penulis susun, semoga bermanfaat bagi kita semua.


20 November 2014
Penulis,










Bab II
Pembahasan

1.      Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.
Adapun yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalam harta warisan adalah harta pusaka, harta perkawinan, harta bawaan dan harta depetan.
 Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan.
Waris adalah istilah untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta warisan.
 Cara pengalihan adalah proses penerusan harta warisan dari pewaris kepada waris, baik sebelum maupun sesudah wafat.
Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerus harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang dikemukakan oleh Ter Haar:

“Hukum waris adat adalah aturan- aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan  yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut”.[1]

Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa ,
“Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia  kepada keturunnya”.[2]

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

2.      Unsur – Unsur Hukum Waris Adat
Dari dua pendapat di atas juga terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :
a.    Adanya Pewaris;
b.    Adanya Harta Waris;
c.    Adanya ahli Waris; dan
d.   Penerusan dan Pengoperan harta waris.

3.      Sifat- Sifat Hukum Waris Adat
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :

a.    Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
b.   Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
c.     Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
d.   Hukum adat waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukum yang bersangkutan, misalnya Patrilineal, Matrilineal, dan Parental.
e.    Pengoperan warisan dapat terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut “penghibahan” atau hibah wasiat, dan dapat terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia yang disebut warisan.
f.    Dasar pembagian warisan adalah kerukunan dan kebersamaan serta memperhatikan keadaan istimewa dari tiap ahli waris.
g.    Adanya persamaan hak para ahli waris
h.   Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris.
i.     Pembagian warisan dapat ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagian saja.


4.      Prinsip Hukum Waris Adat
Kemudian  didalam  hukum  waris  adat  dikenal  beberapa prinsip (azas umum) , diantaranya adalah sebagai berikut  :

a.    Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka.  Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.

b.   Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris ketika si pewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya.


c.    Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya.

d.   Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana  hak dan  kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (Kandung ).

5.      Ketentuan Hukum Waris Adat
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta  warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat.  Sebab pada waktu-waktu  tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta warisan akan dibagi, maka yang  menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain  :
a.    Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris ) atau
b.   Anak laki-laki tertua atau perempuan
c.    Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana
d.    Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka  agama  yang  minta, ditunjuk  dan  dipilih  oleh  para  ahli  waris.

Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan sistem keturunan dan kekerabatan adat masih tetap dipertahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan bahwa:

“…hukum waris adat mempunyai corak  tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral.”[3]
Untuk bidang hukum waris adat misalnya, pluralisme itu terjadi pada  umumnya disebabkan  oleh  adanya  pengaruh  dari  susunan / kekerabatan yang dianut di Indonesia. Adapun susunan tersebut antara lain :
a.       Pertalian keteurunan menurut garis laki-laki ( Patrilineal )
b.      Pertalian keturuman menrut garis perempuan ( matrilineal )
Contoh : Minangkabau, Kerinci ( Jambi ), Semendo- ( Sumetera Selatan )
c.       Pertalian keturunan menurut garis Ibu & bapak  ( Parental / Bilateral ) Misalnya : Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan ( Dayak ) , dll.

6.      Sistem Kewarisan Adat
Disamping itu, dalam hal sistem pewarisanyapun bermacam-bermacam pula , yakni terbagi atas 3 ( tiga ) bagian yaitu :
a.       Sistem Pewarisan Keturunan
Secara teoritis sistem keturunan ini dapat dibedakan dalam tiga corak:
·         Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.
Contoh : Umpamanya : Batak , Bali , Ambon

·         Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam pewarisan.
Contoh : Minangkabau, Kerinci ( Jambi ), Semendo- ( Sumetera Selatan )

·         Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan.
Contoh: Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan ( Dayak ) , dll.

b.      Sistem Pewarisan Individual                                                                       
Sistem pewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain.
Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku di kalangan masyarakat dengan susunan kekeluargaan bilateral ( jawa ) & kekeluargaan patrilineal ( Batak )

c.       Sistem Pewarisan Kolektif
Sistem pewarisan dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasi dari harta peninggalan itu.
Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kerabat.
Sistem kolektif ini terdapat misalnya di daerah Minangkabau, kadang-kadang juga di tanah Batak atau di Minahasa dalam sifatnya yang terbatas.
Misalnya : Harta pusaka tidak dilmiliki atau dibagi-bagikan hanya dapat dipakai atau hak pakai, seperti harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanah dati di Ambon.

d.      Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat sesunggunhnya adalah juga merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta  yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Sistem mayorat ini ada 2 (dua) macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut, yaitu:
1.      Mayorat laki-laki, yaitu harta peninggalan jatuh kepada anak-anak laki laki, seperti berlaku di lingkungan masyarakat Lampung, terutama yang beradat pepadun, atau juga berlaku sebagaimana di Teluk Yos Soedarso Kabupaten Jayapura Papua.
2.      Mayorat perempuan, yaitu harta peninggalan jatuh pada anak perempuan tertua.seperti berlaku di lingkungan masyarakat ada semendo di Sumater Selatan.

7.      Harta Peninggalan yang Dapat dibagi

Tidak semua harta peninggalan dapat diwariskan/ dibagi-bagikan kepada ahli waris, alasan-alasan harta peninggalan tidak dapat dibagi, yaitu :
a.       karena sifatnya seperti barang-barang milik bersama/ milik kerabat.
b.      karena kedudukan hukumnya seperti barang kramat, kasepuhan, tanah bengkok, tanah kasikepan.
c.       karena pembagian warisan ditunda, misalnya adanya anak-anak yang belum dewasa.
d.      karena belum bebas dari kekuasaan dari persekutuan seperti tanah milik desa.
e.        karena hanya diwariskan pada satu golongan saja seperti system kewarisan mayorat








Bab III
Penutup

Hukum Waris Adat sangatlah luas cakupanya, benar- benar luas daripada Hukum yang berlaku dibarat dan Islam, dari pemaparan dan penjelasan, dari pemakalah, semoga para peserta bisa memahami, apabila ada saran maupun kritik, penulis memohon untuk bersedia menambahkannya.
Segala yang penulis tulis adalah pendapat makhluk, apabila ada salah, kami mohon maaf yang sebesar- besarnya.

























Daftar Pustaka
Hazairin, 1975, “Bab-bab Tentang Hukum Adat”, Pradnya Paramita:Jakarta.
Haar, Ter, 1990, “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat”, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N. Voricin Vahveve: Bandung.
Soepomo,1993,  “Bab-Bab tentang Hukum Adat”, Pradnya Paramita: Jakarta.





[1] Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N.
Voricin Vahveve, Bandung, 1990, hlm.47.

[2] Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 72.
[3] .Hazairin, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hlm. 45.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer